TERNYATA PONDOK PESANTREN DARUTTAQWA SUCI GRESIK SUDAH BANYAK DIJADIKAN PENELITIAN SEKRIPSI DAN TESIS OLEH MAHASISWA




BAB III
MUNCULNYA TRADISI WOLULASAN DAN SELIKURAN







          A.    Pondok Pesantren Daruttaqwa
Sebelum membahas tradisi wolulasan dan slikuran terlebih dahulu akan dijelaskan Pondok Pesantren Daruttaqwa karena dalam tradisi wolulasan dan selikuran ini melibatkan KH. Munawar Adnan Kholil selaku pendiri Pondok Pesantren Daruttaqwa.
Adapun pendirian Pondok Pesantren Daruttaqwa ini berawal dari kedatangan seorang muslim yang saleh ke Desa Suci manyar Gresik (1875 M) untuk melaksanakan dakwah Islami, beliau bernama Mbah Brojo yang bersal dari Soca Bangkalan Madura.
Di Desa Suci Manyar Gresik, Mbah Brojo membangun langgar yang dikenal dengan sebutan langgar Mbah Brojo, di langgar ini Mbah Brojo membimbing masyarakat Desa Suci untuk melaksanakan ajaran Agama Islam. Dengan kesabaran dan ketekunan Mbah Brojo dalam membimbing masyarakat desa Suci akhirnya mereka menjadi masyarakat yang taat dalam menjalankan ajaran Agama Islam.[1]
Setelah kurang lebih 10 tahun Mbah Brojo dengan tekun mengajarkan dan membimbing masyarakat Desa Suci, kemudian ia menikah dengan Nyai Sihhah.
Dari pernikahan ini beliau dikaruniai 2 anak yaitu: Mbah K.Sholeh (menantu Kiai Abdul Jabbar) Dukun Sidayu, saudara tua KH. Fakih Maskumambang. Nyai Maryam, menikah dengan Mbah Ismail.
Pernikahan Nyai Maryam dengan Mbah Ismail kemudian dikaruniai dua anak, yakni Nyai Mas’amah dan Nyai Dewi Muslihah. Nyai Mas’Amah menikah dengan Kiai Kholil dari Manyar. Kiai Kholil adalah santri Kiai Khozin Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban Lamongan dan juga pernah menjadi santri Kiai Kholil Bangkalan.
Pada tahun 1932 M Kiai Kholil (Suci) ingin meneruskan perjuangan Mbah Bojo dengan mendirikan langgar yang dikenal dengan sebuatan “Langgar Kiai Kholil”. Di langgar ini Kiai Kholil meneruskan perjuangan mbah Brojo dalam membimbing masyarakat Suci untuk melaksanakan ajaran islam.[2]
Setelah Kiai Kholil wafat (1961 M) dilakukan Pembangunan Pondok Pesantren di sekitar langgar tersebut oleh cucu Kiai Kholil yang bernama KH. Munawar Adnan Kholil yang telah selesai belajar di Pondok Pesantren Jati Purwo Sawah Pulo Surabaya. Pendirian pondok ini atas perintah dari gurunya KH. Usman al-Ishaqi dan putranya KH. Ahmad Asrori untuk melanjutkan perjuangan Kiai Kholil dengan Mendirikan Pondok Pesantren, Hal ini dimaksudkan untuk menyelamatkan peninggalan Kiai Kholil. Namun Menurut cerita Hasbi Mubarok sewaktu mendapat perintah tersebut KH. Munawar Adna Kholil masih kerasan (betah tinggal) di pondok akhirnya KH Munawar Adnan Kholil meminta izin kepada KH. Usman al-Ishaqi agar diperbolehkan mondok sampai 20 tahun untuk lebih mendalami ilmunya. Namun sebelum mondok selesai KH. Usman al-Ishaqi terlebih dahulu wafat pada tanggal 1984 M sehingga kepemimpinan Pondok Pesantren diteruskan anak-anaknya. Kemudian setelah 20 tahun, KH. Munawwar Adnan Kholil meminta izin Kepada KH. Ahmad Asrori dan KH. Arifin untuk boyong (pulang ke rumah). Tetapi KH. Ahmad Asrori dan KH. Arifin tidak memperbolehkan  KH.  Munawar  Adnan  Kholil  untuk  pulang  terlebih  dahulu, karena  beliau  akan  diajak  pulang  bersama  dengan  rombongan  para  Kiai  Jati Purwo  (KH.  Ahmad  Asrori  Usman  dan  KH.  Arifin  Usman)  untuk  langsung meresmikan pondok pesantren tersebut. Pondok Pesantren ini diresmikan oleh
KH.  Ahmad  Asrori  bersama  KH.  Arifin  pada  tanggal  1  Maret  1987. Pondok pesantren ini kemudian diberi nama Daruttaqwa yang artinya “Rumah orang- orang yang bertaqwa”.[3]
Sebagai seorang murid yang patuh pada perintah gurunya akhirnya KH. Munawwar Adnan Kholil melaksanakan perintah yang diberikan KH. Usman al- Ishaqi dan KH. Ahmad Asrori akhirnya mulai dibangun lima kamar di sekitar langgar yang kemudian ditempati lima santri putra pertama, 3 santri dari Madura dan 2 santri dari Semarang.[4] Kemudian pada 1 Maret 1989 Pondok Pesantren Daruttaqwa diresmikan oleh Bupati Gresik H. Amiseno.[5] Lambat laun Pondok Pesantren Daruttaqwa yang didirikan oleh KH. Munawwar Adnan Kholil mulai dikenal dan banyak santri yang mondok di Pondok Pesantren tersebut baik berasal dari Gresik maupun dari luar seperti Semarang, Madura, Sulawesi, Lamongan dan lain-lain. Dalam waktu singkat santrinya semakin bertambah terus. Pada tahun 1988 santrinya sudah berjumlah 75. Sampai pada akhir tahun 1993 jumlah santri menetap di pondok tercatat sebanyak 425 santri. Dan hingga saat ini santrinya telah mencapai 9000 santri. Karena jumlah santri semakin bertambah kemudian dibangun kamar-kamar baru yang berada di sebelah utara pondok pesantren yang lama.
KH. Munawwar Adnan Kholil dilahirkan dari Bapak Mohammad Adnan dan ibu afwah pada hari Jumat Pon setelah Salat Asar tanggal 21 Ramadan 1305 H atau 23 Nopember 1954, di Desa Suci Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik. KH. Munawwar Adnan kholil semasa kecil sudah di ajari ilmu agama oleh ayahnya. Beliau juga belajar ilmu fikih, nahwu dan sorof pada Kiai Abdulah Faqih dan Kiai Muhamad Amin. Di samping belajar dalam bidang agama ia juga pernah sekolah formal di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam Pongangan kemudian meneruskan belajar ke Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Jati Purwo Sawahpulo Surabaya yang di asuh KH. Usman al-Ishaqi.
Semasa hidupnya KH. Munawwar Adnan Kholil terkenal sebagai sosok yang sabar dan tidak sombong karena ia tidak membeda-bedakan. Bahkan, terhadap orang yang baru dikenalnya ia bersikap apa adanya seperti menanggapi para saudaranya. Sehingga masyarakat sekitar sangat menghargai dan menghormati beliau sebagai sosok kiai yang berwibawa dan juga rendah hati. KH. Munawwar Adnan Kholil termasuk seorang ahli tulis (mengarang kitab), bahkan ketika sedang sakit beliau tetap mengarang kitab. Diantara kitab-kitab karangannya yaitu: 1. Tafsiatul Qulub, 2. Badrul Allam ala Nahjil Atam Fitabwibil Hikam, 3. Roudlotul Muhibbin Nubdatun Qolilatin min Ihya’ulumudin, 4. Manaqibul auliya’ul Falihin, An-Naful Amin, 5. Faidulilah Fi Fadlhli Dzikrillah, 6. Ajwibatul Mardiyah Fi Maulidi Koiril Bariyah.7. Al-Wadoiful Robbaniyah, 8. Hilyatul Auliya, 9. Koiruzzad Fil Hajji, 10. Syarah Risalah Qusairiyah. Dari kitab-kitab tersebut sekarang telah dipakai sebagai kitab untuk mengajar santri-santrinya.
Wafatnya pada hari Selasa tanggal 27 November 2012 atau 13 Muharam 1434 pukul 00.30 di RS. Graha Amerta Surabaya. ia dimakamkan di Dusun Bunder Desa Dahan Rejo tepatnya di wilayah Pondok Pesantren Daruttaqwa III. Beliau meninggalkan seorang istri (Nyai Hj. Vivi Fatimah Zuhriyah), dua putra (H. Nur Mohamad Kholil Tantowi dan Nur Mohammad Fadhluloh Nabhan) tiga anak putri (Hj. Nur Qomariyah Setiawati Wulandari, Hj. Nur Maftuhatun  Nadiyah dan Nur Nabilatus Silfa) dan menantunya suami dari anak pertama (H. Ainul Muttaqin). Setelah KH. Munawwar Adnan Kholil Wafat kepemimpinan Pondok Pesantren diteruskan oleh menantu dari perenikan anaknya yang pertama yaitu H. Ainul Muttaqin dari tanggal 27 November 2012 sampai sekarang.
Pondok Pesantren Daruttaqwa berbasis tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang diadopsi oleh K.H. Munawwar Adnan Kholil dari gurunya K.H. Utsman al-Ishaqi dan K.H. Ahmad Asrori. Salah satu amalan atau kegiatan yang diadopsi dari Pondok Pesantren Jatipurwo adalah manakiban.
Manakiban adalah ritual yang menjadi tradisi dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Selain memiliki aspek seremonial manakiban juga memiliki aspek mistik. Sebenarnya kata manakiban berasal dari kata manaqib (bahasa Arab), yang berarti biografi ditambah akhiran: -an, menjadi manakiban sebagai istilah yang berarti kegiatan membaca manakib (biografi).[6]
Lebih jelasnya manakib merupakan sesuatu yang diketahui dan dikenal pada diri seseorang berupa prilaku dan perbuatan yang terpuji di sisi Allah, sifat- sifat yang manis lagi menarik, pembawaan dan etika yang baik lagi indah, kepribadian yang bersih, suci lagi luhur, kesempurnaan-kesempurnaan yang  tinggi lagi agung, serta karomah-karomah yang agung di sisi Allah.
Dari pemaparan di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa manakib adalah riwayat hidup yang berhubungan dengan seorang tokoh yang menjadi suri teladan baik dalam silsilahnya, akhlaknya, karomah-karomahnya dan lain-lain.
Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa manakib adalah cerita mengenai kekeramatan para kekasih Allah yang mempunyai karomah dan akhlak mulia. Sengaja pada fase ini perlu diketahui tentang sejarah asal-usul manakiban, dengan tujuan agar masyarakat Islam memahami secara jelas latar belakang adanya manakiban yang sampai sekarang masih terus berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam di beberapa daerah di Indonesia.
Apabila memahami isi kandungan Alquran di dalamnya banyak mengisahkan tentang orang saleh zaman dulu, maka sebenarnya manakib itu sudah ada sebelum zaman Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam, maupun sesudah beliau wafat. Ini bisa dilihat dari adanya manakib Ashab al- Kahfi, mankib Luqman, manakib Maryam, manakib Dhul al-Qarnayn dan lain- lain. Demikian pula sesudah Rasulullah wafat, banyak terdapat manakib-manakib lain, seperti manakib Abu Bakar al-siddiq, manakib Umar bin Khattab, manakib Utshman, manakib Ali bin Abi Thalib, manakib Hamzah, manakib Abi Sa’id, manakib Junaydi al-baghdadi, manakib al-Tijani manakib Syekh Abdul Qadir al- Jilani dan lain-lain.[7]
Munculnya manakib erat sekali kaitannya dengan Tersebarnya ajaran tasawuf para sufi di Indonesia. Ketika para pedagang-pedagang muslim mengislamkan orang-orang Indonesia menggunakan ajaran tasawuf yang mudah diterima oleh orang Indonesia.[8] Tokoh-tokoh yang menyebarkan islam di Indonesia dalam setiap dakwahnya selalu mengikut sertakan paham-paham tasawuf, seperti islamisasi di Jawa yang disebarkan oleh wali songo yang juga tergolong sufi. Pendekatan tasawuf juga digunakan oleh wali songo sebagai sarana untuk mengislamkan masyarakat Jawa. Hal itu dilakukan karena penduduk Jawa sudah memiliki kepercayaan Hindu Budha yang inti ajarannya adalah kehidupan mistik. Kesamaan dimensi mistik inilah yang menjadikan dakwah islam oleh para wali songo berjalan lancar. Meskipun ketika mengamalkan ajaran islam masih sering dicampurbaurkan dengan ajaran Hindu Budha yang telah dianut sebelumnya.[9]
Demikian halnya dengan munculnya manakib yang telah menjadi sebuah tradisi yang terus berkembang di Indonesia, terutama di Jawa para ulama islam yang dipimpin oleh wali songo yang telah mengajarkan tentang ilmu tarekat, manakib dan amalan-amalan lainnya. Praktek-praktek tersebut terus berjalan dan berkembang terus sampai sekarang bahkan oleh masyarakat Islam dijadikan sebagai sarana dakwah islami.[10]
Kegiatan-kegiatan yang telah disampaikan oleh para pendakwah Islam tersebut terus berlanjut hingga sekarang. Seperti manakiban yang semakin diminati di Indonesia, khususnya bagi masyarakat Suci Manyar Gresik. kegiatan manakiban selain untuk mempererat silaturahmi, juga untuk mengisi kekosongan jiwa dan sebagai proses pendekatan diri kepada Allah.
Manakiban di Pondok Pesantren Daruttaqwa dilakuakan setiap tanggal 15, 18 dan 21 Hijriyah, dilakukannya manakiban pada tanggal 15 Hijriah karena pada waktu itu K.H. Munawwar meminta izin kepada K.H. Ahmad Asrori dan diberikan tanggal 15 untuk dijadikan amaliah istikamah dalam melaksanakan manakiban.[11]




[1] Muhammad Kiswono, “Biografi KH. Munawar Adnan Khalil” , dalam https://plus.google.com/+MuhammadKiswono/posts/ (23 Mei 2016).
[2] Nabila Firdaus, “Biografi KH. Munawar Adnan Kholil dan pola pembelajaran keterampilan para santri di Pondok Pesantren Daruttaqwa Suci Manyar Gresik (1987-2000)” (Skripsi UIN Sunan Ampel Fakultas Adab, Surabaya, 2013), 45.
[3] Mohammad Sufai, Wawancara, Gresik, 21 Mei 2016.
[4] Mohammad Sufai, Wawancara, Gresik, 21 Mei 2016.
[5] Sumber foto batu peresmian Pondok Pesantren Daruttaqwa Suci Manyar Gresik oleh Bupati Gresik H.Amiseno
[6] Aqib, al-Hikam, 109.
[7] Musa Turoicho, al-Lujain ad-Daaniy: Manaqib Syakh Abdul Qadir al-Jilani (Surabaya: Tulus Harapan, 2006), 3.
[8] Mahjudin, Kuliah Akhlak Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), 93.
[9] Ibid., 94.
[10] Imron Abu Umar, Kitab Manakib Tidak Merusak Akidah Islaamiyah (kudus: Menara Kudus 1989), 11.
[11] Ainur Rofiq, Wawancara, 14 April 2016.

Post a Comment

0 Comments